Rabu, 13 November 2013

KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA: MASALAH DAN SOLUSI




BAB I
PENDAHULUAN
  1. A.    Latar Belakang Masalah
Kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan social secara lengkap dan bukan hanya adanya penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan dengan system reproduksi dan fungsi-fungsi serta prosesnya.  Sedangkan kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi yang sehat yang menyangkut system, fungsi, dan proses reproduksi yang dimiliki oleh remaja. Kaum remaja Indonesia saat ini mengalami lingkungan sosial yang sangat berbeda daripada orangtuanya. Dewasa ini, kaum remaja lebih bebas mengekspresikan dirinya, dan telah mengembangkan kebudayaan dan bahasa khusus antara grupnya. Sikap-sikap kaum remaja atas seksualitas dan soal seks ternyata lebih liberal daripada orangtuanya, dengan jauh lebih banyak kesempatan mengembangkan hubungan lawan jenis, berpacaran, sampai melakukan hubungan seks.
Menurut PKBI, akibat derasnya informasi yang diterima remaja dari berbagai media massa, memperbesar kemungkinan remaja melakukan praktek seksual yang tak sehat, perilaku seks pra-nikah, dengan satu atau berganti pasangan. Saat ini, kekurangan informasi yang benar tentang masalah seks akan memperkuatkan kemungkinan remaja percaya salah paham yang diambil dari media massa dan teman sebaya. Akibatnya, kaum remaja masuk ke kaum beresiko melakukan perilaku berbahaya untuk kesehatannya. Secara garis besar dapat dikelompokkan empat golongan faktor yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan reproduksi yaitu :
  1. Faktor sosial-ekonomi dan demografi (terutama kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, dan ketidaktahuan tentang perkembangan seksual dan proses reproduksi, serta lokasi tempat tinggal yang terpencil).
  2. Faktor budaya dan lingkungan (misalnya, praktek tradisional yang berdampak buruk pada kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak anak banyak rejeki, informasi tentang fungsi reproduksi yang membingungkan anak dan remaja karena saling berlawanan satu dengan yang lain, dsb).
  3. Faktor psikologis (dampak pada keretakan orang tua pada remaja, depresi karena ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita pada pria yang membeli kebebasannya secara materi, dsb).
  4. Faktor biologis (cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca penyakit menular seksual, dsb).
Perubahan fisik yang pesat dan perubahan endokrin/hormonal yang sangat dramatik merupakan pemicu masalah kesehatan remaja serius karena timbuhnya dorongan motivasi seksual yang menjadikan remaja rawan terhadap penyakit dan masalah kesehatan reproduksi, kehamilan remaja dengan segala konsekuensinya yaitu: hubungan seks pranikah, aborsi, PMS & RIV-AIDS serta narkotika.  Permasalahan remaja seringkali berakar dari kurangnya informasi dan pemahaman serta kesadaran untuk mencapai sehat secara reproduksi. Di sisi lain, remaja sendiri mengalami perubahan fisik yang cepat.  Akses untuk mendapatkan informasi bagi remaja banyak yang tertutup. Dengan memperluas akses informasi tentang kesehatan reproduksi remaja yang benar dan jujur bagi remaja akan membuat remaja makin sadar terhadap tanggung jawab perilaku reproduksinya. Dengan makin banyaknya persoalan kesehatan reproduksi remaja, maka pemberian informasi, layanan dan pendidikan kesehatan reproduksi remaja menjadi sangat penting. Melihat kondisi seperti diatas penulis ingin meneliti tentang apa saja masalah  kesehatan reproduksi remaja dan bagaimana solusi dalam mengatasinya.
  1. B.     Rumusan Masalah
  2. Apakah masalah yang terjadi terkait kesehatan reproduksi remaja?
  3. Solusi apa yang dapat ditawarkan untuk mengetasi masalah tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
  1. A.    Kesehatan Reproduksi Remaja
    1. Masalah Kesehatan Reproduksi Remaja
      1. Masalah Kehamilan Remaja
Kehamilan usia dini memuat risiko yang tidak kalah berat. Pasalnya, emosional ibu belum stabil dan ibu mudah tegang. Sementara kecacatan kelahiran bisa muncul akibat ketegangan saat dalam kandungan, adanya rasa penolakan secara emosional ketika si ibu mengandung bayinya.
  1. Masalah Aborsi
Aborsi memiliki resiko yang tinggi terhadap kesehatan maupun keselamatan seorang wanita. Tidak benar jika dikatakan bahwa jika seseorang melakukan aborsi tidak merasakan apa-apa dan langsung boleh pulang. Ini adalah informasi yang sangat menyesatkan bagi setiap wanita, terutama mereka yang sedang kebingungan karena tidak menginginkan kehamilan yang sudah terjadi
  1. Infeksi Menular Seksual (IMS)
Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang menyerang organ kelamin seseorang dan sebagian besar ditularkan melalui hubungan seksual. Penyakit menular seksual akan lebih berisiko bila melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan baik melalui vagina, oral maupun anal.
  1. HIV dan AIDS
1)      HIV
HIV merupakan  singkatan dari ’human immunodeficiency virus’. HIV merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama CD4 positive T-sel dan macrophages– komponen-komponen utama sistem kekebalan sel), dan menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus-menerus, yang akan mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh.
Sistem kekebalan dianggap defisien ketika sistem tersebut tidak dapat lagi menjalankan fungsinya memerangi infeksi dan penyakit- penyakit. Orang yang kekebalan tubuhnya defisien (Immunodeficient) menjadi lebih rentan terhadap berbagai ragam infeksi, yang sebagian besar jarang menjangkiti orang yang tidak mengalami defisiensi kekebalan. Penyakit-penyakit yang berkaitan dengan defisiensi kekebalan yang parah dikenal sebagai “infeksi oportunistik” karena infeksi-infeksi tersebut memanfaatkan sistem kekebalan tubuh yang melemah.
2)      AIDS
AIDS adalah singkatan dari ‘acquired immunodeficiency syndrome’ dan menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV telah ditahbiskan sebagai penyebab AIDS. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS.
  1. Tingkat Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Remaja
Tingkat pengetahuan remaja di Indonesia tentang kesehatan reproduksi masih rendah, khususnya dalam hal cara-cara melindungi diri terhadap risiko kesehatan reproduksi, seperti pencegahan KTD, IMS, dan HIV dan AIDS. Hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja (SKRRI) tahun 2002-2003 yang dilakukan oleh BPS memperlihatkan bahwa tingkat pengetahuan dasar penduduk usia 15-24 tahun tentang ciri-ciri pubertas sudah cukup baik, namun dalam hal pengetahuan tentang masa subur, risiko kehamilan, dan anemia relatif masih rendah. Tingkat pengetahuan penduduk usia 15-24 tahun tentang beberapa isu Kesehatan Reproduksi, Indonesia, 2002-2003
Tabel 2.1 Tingkat pengetahuan penduduk usia 15-24 tahun tentang beberapa isu Kesehatan
Reproduksi, Indonesia, 2002-03
karakteristik
Persentase Penduduk yang mengetahui dengan benar tentang:
Ciri-ciri pubertas pada laki-laki
Ciri-ciri pubertas pada perempuan
Masa subur
Perempuan
Risiko hamil jika sekali berhubungan seks
Anemia
Laki-laki
80.2
70.2
20.4
46.1
65.7
perempuan
80.8
90.1
30.7
43.1
44.9

Demikian pula pengetahuan remaja tentang IMS dan HIV dan AIDS masih sangat rendah. Gencarnya informasi tentang HIV dan AIDS selama ini nampaknya belum mampu meningkatkan pengetahuan remaja secara signifikan tentang penyakit tersebut, apalagi sampai dengan perubahan perilaku. Apa yang telah banyak dilakukan selama ini nampaknya baru kesadaran di kalangan remaja bahwa fenomena HIV dan AIDS ada di sekitar mereka. Masih sangat sedikit remaja yang memiliki pengetahuan yang benar tentang seluk beluk HIV dan AIDS. Kondisi yang sama juga berlaku untuk IMS. Tingkat pengetahuan penduduk usia 15-24 tahun tentang beberapa isu HIV dan AIDS dan IMS, Indonesia, 2002-2003
Tabel 2.2 Tingkat pengetahuan penduduk usia 15-24 tahun tentang beberapa isu HIV dan AIDS dan IMS, Indonesia, 2002-2003
Karakteristik
Persen penduduk
Pernah dengar HIV/AIDS
Percaya HIV/AIDS dapat dihindari
Mengetahui 1 cara menghindari HIV/AIDS
Mengetahui 2 cara menghindari HIV/AIDS
Pernah dengar IMS
Dapat menyebutkan gejala IMS
Laki-laki
82.1
65.6
36.3
10.7
40.0
30.0
perempuan
87.7
70.1
32.8
9.9
30.0
20.0

Survei yang pernah dilakukan oleh Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 1999 dan 2003 membuktikan bahwa pemberian informasi seksualitas tidak terbukti mendorong remaja mencoba atau menjadi aktif untuk melakukan hubungan seks. Pemberian informasi atau pelatihan yang benar tidak mengajarkan remaja melakukan hubungan seks atau berperilaku seksual aktif. Penelitian ini mempunyai temuan yang sama dengan beberapa survei di berbagai negara.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan terutama dibidang teknologi informasi, permasalah remaja yang terkait dengan kesehatan reproduksinya semakin kompleks. Hal ini tentu akan mempengaruhi status kesehatan reproduksi para remaja yang pada gilirannya akan berdampak terhadap kualitas generasi dimasa mendatang.
World Health Organization (WHO) memperkirakan ada 20 juta kejadian aborsi tidak aman (unsafe abortion) di dunia, 9,5 % (19 dari 20 juta tindakan aborsi tidak aman) diantaranya terjadi di negara berkembang. Sekitar 13 % dari total perempuan yang melakukan aborsi tidak aman berakhir dengan kematian. Resiko kematian akibat aborsi yang tidak aman di wilayah Asia diperkirakan 1 berbanding 3700 dibanding dengan aborsi. Diwilayah Asia Tenggara, WHO memperkirakan 4,2 juta aborsi dilakukan setiap tahun, dan sekitar 750.000 sampai 1,5 juta terjadi di Indonesia, dimana 2.500 di antaranya berakhir dengan kematian. Angka aborsi di Indonesia diperkirakan mencapai 2,3 juta pertahun. Sekitar 750.000 diantaranya dilakukan oleh remaja. (Medical-Journal, Soetjiningsih, 2004)
Menurut Parawansa (2000), menyatakan bahwa jumlah aborsi di Indonesia dilakukan oleh 2 juta orang tiap tahun, dari jumlah itu, 70.000 dilakukan oleh remaja putri yang belum menikah. Menurut Azwar,A (2000) menyatakan bahwa jumlah aborsi pertahun di Indonesia sekitar 2,3 juta. Setahun kemudian terjadi kenaikan terjadi kenaikan cukup besar. Menurut Nugraha,B,D, bahwa tiap tahun jumlah wanita yang melakukan aborsi sebanyak 2,5 juta. Menurut seminar yang diadakan tanggal 6 Agustus 2001 di Jakarta Utomo,B, melaporkan hasil penelitian yang dilakukan di 10 kota besar dan 6 kabupaten di Indonesia tahun 2000, menyimpulkan bahwa di Indonesia terjadi 43 aborsi per 100 kelahiran hidup. Ia juga menyampaikan bahwa sebagian besar aborsi adalah aborsi yang disengaja, ada 78 % wanita diperkotaan dan 40 % di pedesaan yang melakukan aborsi dengan sengaja. (Kusmaryanto, 2002).
Laporan yang disinyalir melalui Kapanlagi (25/08/2005) Tingkat aborsi (pengguguran kandungan) di kalangan remaja di tanah air hingga tidak berbeda dengan angka-angka yang disebutkan diatas, dimana diperkirakan dari hasil suvey dan penelitian pada tahun 2005 masih cukup tinggi hingga mencapai 30%. Atau mencapai dua juta orang/tahun, dan 30% diantaranya atau 600 ribu orang dari kalangan remaja. Tingginya tingkat aborsi yang dilakukan kalangan remaja terjadi akibat perilaku hubungan seksual sebelum menikah, bahkan banyak juga remaja yang terjangkit berbagai jenis penyakit menular seksual (PSM). Perkiraan yang sama ternyata tidak berbeda dengan hasil   Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SKDI) 2004 tentang aborsi atau pengguguran kandungan, tingkat aborsi di Indonesia sekitar 2 sampai 2,6 juta kasus pertahun, 30% dari aborsi tersebut dilakukan oleh mereka di usia 15-24 tahun.
Apabila disimpulkan dengan kenaikan 100,000 kasus aborsi pertahun saja, maka denga menggunakan data WHO ada tahun 2004 dimana kasus aborsi telah mencapai 2,5 juta kasus. Maka di tahun 2010 kasus aborsi dapat diperkirakan telah mencapai 3,1 Juta kasus. Ini angka fantastis. Dan apabila 30% dari pelaku aborsi adalah terjadi dikalangan remaja maka kasusnya dapat mencapai 930.000 kasus pertahun. Dan mungkin saja akan berkembang terus apabila tidak segera dicegah. Apalagi dampak kematian dari aborsi tidak aman) tersebut akan turut meningkat.
  1. B.     Kebijakan dan Solusi Masalah Kesehatan Reproduksi Remaja
Adapun kebijakan dan solusi tentang masalah kesehatan reproduksi remaja, yaitu sebagai berikut:
  1. Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan yang telah dikeluarkan baik berdasarkan kesepakatan Internasional maupun oleh Pemerintah Nasional terkait Kesehatan Reproduksi Remaja.
  2. Pada bulan September 1994 di Kairo, 184 negara berkumpul untuk merencanakan suatu kesetaraan antara kehidupan manusia dan sumber daya yang ada. Konferensi Internasional ini menyetujui bahwa secara umum akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi harus dapat diwujudkan sampai tahun 2015.
  3. Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) tahun 1994 mengartikan pendekatan untuk memperoleh hak-hak akan kesehatan reproduksi remaja secara luas. Hasil-hasil ICPD secara khusus menunjukkan perlunya para orang tua dan orang dewasa lainnya untuk, sesuai dengan kapasitasnya, melakukan bimbingan mengenai hal ini kepada remaja untuk mengetahui hak-hak mereka terhadap informasi dan pelayanan KRR.
  4. Konvensi Internasional lain yang memuat tentang kesehatan reproduksi serta diadopsi oleh banyak negara di dunia di antaranya adalah Tujuan Pembangunan Milenium /Milenium Development Goals. MDGs ini memuat pada tujuan ketiga (goal 3)  adalah kesepakatan untuk mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan termasuk upaya tentang peningkatan kesehatan reproduksi. Pada tujuan keenam (goal 6) diuraikan bahwa salah satu kesepakatan  indikator keberhasilan pembangunan suatu negara dengan mengukur tingkat pengetahuan yang komprehensif tentang HIV pada wanita berusia 15 – 24 tahun. Selain itu jenis kontrasepsi yang dipakai wanita menikah pada usia 15 – 49 tahun juga merupakan salah satu indikatornya.
  5. UU nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mencantumkan tentang Kesehatan Reproduksi pada Bagian Keenam pasal 71 sampai dengan pasal 77. Pada pasal 71 ayat 3 mengamanatkan bahwa kesehatan reproduksi dilaksanakan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Setiap orang (termasuk remaja) berhak memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan (pasal 72).  Oleh sebab itu Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana (pasal 73). Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif, termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman dan sehat dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi perempuan (pasal 74). Setiap orang dilarang melakukan aborsi kecuali yang memenuhi syarat tertentu (pasal 75 dan 76). Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan (pasal 77)
  6. Pemerintah Indonesia, dalam hal ini BKKBN melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009 menyatakan bahwa salah satu arah RPJM adalah meningkatkan kualitas kesehatan reproduksi remaja.
  7. Pertemuan ke 20 parlemen se-Asia Pasifik di Almaty, Kazakhstan pada tanggal 28-29 September 2004 yang membahas isu kependudukan dan pembangunan telah menghasilkan sebuah deklarasi yang dikenal dengan “Deklarasi Almaty”. Isu-isu terkait didalam deklarasi ke 20 Almaty antara lain mengangkat soal isu kesehatan reproduksi dan STI/HIV/AIDS. Yang beberapa komitmennya adalah
  • Mendukung pengingkatan dan mengawasi persamaan akses dalam memenuhi kualitas pelayanan kesehatan  reproduksi untuk semua kalangan termasuk kepada remaja.
  • Menghimbau kepada semua mitra pelaksanaan pembangunan, untuk segera bertindak dan melakukan kerjasama dan upaya konkrit untuk mencegah penyebaran lebih luas dari penyakit STI/HIV/IADS, memberikan perhatian khusus kepada remaja dan anak muda.
  1. Adapun solusi dan strategi yang ditawarkan dan kedepannya bisa diterapkan untuk permasalahan kesehatan reproduksi remaja adalah sebagai berikut:
    1. Menciptakan kebijakan yang melibatkan remaja baik sebagai partisipan aktif maupun pasif. Tahap awal penentuan kebijakan dalam penanggulangan kesehatan reproduksi remaja adalah mengerti dunia remaja itu sendiri. Pemerintah seharusnya mengadakan survei dan penelitian tentang kondisi kesehatan reproduksi remaja di Indonesia. Penelitian sebaiknya dilakukan menyeluruh di semua wilayah Indonesia dan tidak boleh hanya memilih beberapa daerah sebagai cluster sampling. Setiap daerah memiliki pola hidup dan kebudayaan yang berbeda serta tingkat perkembangan yang berbeda sehingga secara tidak langsung pengaruh globalisasi dan arus informasi terhadap kesehatan reproduksi berbeda pula. Sebagai contoh kota Jakarta mungkin masih lebih baik dibandingkan kota Malang karena informasi yang diterima berbeda.
    2. Menyusun suatu Undang-undang dan peraturan pemerintah yang didalamnya membahas kesehatan reproduksi. Isi kebijakan sebaiknya tidak hanya hukuman atau denda bagi pelanggar kesehatan reproduksi tetapi akan lebih baik bila didalamnya ditekankan pada strategi promotif dan preventif terhadap masalah kesehatan reproduksi yang ada.
    3. Pelayanan-pelayanan kesehatan bagi remaja sebaiknya tidak hanya mengenai aspek medis kesehatan reproduksi, tetapi hendaknya juga menyangkut hubungan personal dan menyangkut nilai-nilai moral melalui Pendidik sebaya (Peer Educator).
    4. Menggalang kerja sama dengan semua stakeholder baik pemerintah, swasta, LSM, organisasi profesi serta organisasi kemasyarakatan berdasarkan prinsip kemitraan dalam penyelenggaraan program dan pembinaan remaja.
    5. Sebaiknya pemerintah tidak fokus pada pemberian pendidikan seks saja namun lebih kepada pemberian pendidikan kesehatan reproduksi. Pendidikan seks merupakan bagian dari pendidikan kesehatan reproduksi sehingga lingkup pendidikan kesehatan reproduksi lebih luas. Pendidikan kesehatan reproduksi mencakup seluruh proses yang berkaitan dengan sistem reproduksi dan aspek-aspek yang mempengaruhinya, mulai dari aspek tumbuh kembang hingga hak-hak reproduksi. Sedangkan pendidikan seks lebih difokuskan kepada hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan seks.
    6. Melakukan kampanye Kesehatan Reproduksi Remaja dengan Film Film/Video Komunitas. Strategi ini kedepannya perlu ditingkatkan mengingat hasil yang didapatkan cukup efektif karena remaja cenderung akan lebih merespon dan tertarik untuk belajar tentang kesehatan reproduksi nya melalui media film dan video.
    7. Pemberian pengetahuan dasar kesehatan reproduksi kepada remaja agar mereka mempunyai kesehatan reproduksi yang baik. Pengetahuan yang diberikan antara lain terkait:
  • Tumbuh kembang remaja: perubahan fisik/psikis pada remaja, masa subur, anemi dan kesehatan reproduksi
  • Kehamilan dan melahirkan: usia ideal untuk hamil, bahaya hamil pada usia muda, berbagai aspek kehamilan tak diinginkan (KTD) dan abortus
  • Pendidikan seks bagi remaja: pengertian seks, perilaku seksual, akibat pendidikan seks dan keragaman seks
  • Penyakit menular seksual dan HIV/AIDS
  • Kekerasan seksual dan bagaimana menghindarinya
  • Bahaya narkoba dan miras pada kesehatan reproduksi
  • Pengaruh sosial dan media terhadap perilaku seksual
  • Kemampuan berkomunikasi: memperkuat kepercayaan diri dan bagaimana bersifat asertif
  • Hak-hak reproduksi dan jender.
  1. Memperbaiki komunikasi antar orangtua dan anak. Empowering keluarga untuk meningkatkan ketahanan non fisik menghadapi arus globalisasi dengan cara memperkuat sistem agama, nilai dan norma di dalam keluarga merupakan alternatif utama. Keluarga bertugas mempertebal iman remaja dan pemuda dengan meningkatkan pemahaman nilai-nilai agama, norma, budi pekerti dan sopan santun
  2. Dari pihak pemerintah juga diharapkan adanya kegiatan berwawasan nasional misalnya memperketat sensor arus informasi dan budaya asing, menunjang pembentukan sarana bagi pengembangan remaja dan lain-lain.
Kesimpulannya, peran pemerintah, orangtua, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), institusi pendidikan serta masyarakat sangat diperlukan dalam memahami, mencegah serta cara mengatasi masalah seksualitas dan seputar kasus reproduksi remaja. Karena kompleksnya permasalahan kesehatan reproduksi remaja itu sendiri, sangatlah urgen bagi pemerintah untuk segera bertindak. Sehingga harapannya, permasalahan kesehatan reproduksi remaja tidak berlarut-larut dan segera terpenuhi sehingga tercipta generasi penerus bangsa yang unggul baik dari segi fisik maupun mental.
BAB III
PENUTUP
  1. A.    Kesimpulan
Masalah kesehatan remaja mencakup aspek fisik biologis dan mental, sosial. Perubahan fisik yang pesat dan perubahan endokrin/ hormonal yang sangat dramatik merupakan pemicu masalah kesehatan. Tingkat pengetahuan remaja di Indonesia tentang kesehatan reproduksi masih rendah, khususnya dalam hal cara-cara melindungi diri terhadap risiko kesehatan reproduksi, seperti pencegahan KTD, IMS, dan HIV dan AIDS. Hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja (SKRRI) tahun 2002-2003 yang dilakukan oleh BPS memperlihatkan bahwa tingkat pengetahuan dasar penduduk usia 15-24 tahun tentang ciri-ciri pubertas sudah cukup baik, namun dalam hal pengetahuan tentang masa subur, risiko kehamilan, dan anemia relatif masih rendah.
Permasalahan remaja seringkali berakar dari kurangnya informasi dan pemahaman serta kesadaran untuk mencapai sehat secara reproduksi. Di sisi lain, remaja sendiri mengalami perubahan fisik yang cepat. Harus ada keyakinan bersama bahwa membangun generasi penerus yang berkualitas perlu dimulai sejak anak, bahkan sejak dalam kandungan.
Selain itu, kebijakan dan solusi agar masalah – masalah yang ada terkait kesehatan reproduksi remaja juga telah dibuat dan ditawarkan. Hal ini demi meminimalisir masalah yang ada terkait hal tersebut. Dengan kebijakan lama yang mungkin masih gagal dan diganti kebijakan baru yang telah berpandang pada evaluasi kebijakan sebelumnya, pastilah dalam mengatasi permasalahan kesehatan reproduksi remaja akan lebih mudah.
Peran pemerintah, orangtua, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), institusi pendidikan serta masyarakat sangat diperlukan dalam memahami, mencegah serta cara mengatasi masalah seksualitas dan seputar kasus reproduksi remaja. Karena kompleksnya permasalahan kesehatan reproduksi remaja itu sendiri, sangatlah urgen bagi pemerintah untuk segera bertindak. Maka dari itu dengan solusi yang telah ditawarkan dalam pembahasan diharapkan masalah yang terjadi akan segera dapat diatasi.
  1. B.     Saran
    1. Bagi Remaja
      1. Setiap remaja di Indonesia harus mengetahui tentang seluk beluk kesehatan reproduksi remaja agar pemerintah juga lebih mudah dalam mengatasi permasalahan yang ada.
b. Mungkin sebagai mahasiswa perlu membantu pemerintah dalam melakukan sosialisasi mengenai kesehatan reproduksi remaja, mungkin lebih mudahnya melalui HMJ atau ketika para mahasiswa KKN
  1. Bagi Pemerintah
    1. Pemerintah sebagai implementor kebijakan harus segera mengevaluasi kebijakan yang sekiranya kurang tepat dalam mengatasi permasalahan kesehatan reproduksi remaja agar dapat segera dibuat kebijakan baru yang sesuai.
b. Pengawasan dari pemerintah juga perlu ditingkatkan
  1. Adanya sosialisasi yang terkonsep berbeda agar para remaja lebih tertarik untuk mendengarkan penjelasan yang dalam hal ini mengenai kesehatan mereka.
DAFTAR PUSTAKA